🎱 Ciri Ciri Masjid Sunnah
10 Sholat Sunnah Istisqa. ©2020 Merdeka.com. Macam-macam sholat sunnah selanjutnya ialah sholat istiqa. Sholat istisqa adalah sholat sunah yang bertujuan untuk meminta hujan. Tata cara sholat istisqa ini sama halnya dengan tata cara sholat ied, namun khatib mengganti lafadz takbir dengan memperbanyak lafadz istighfar. [nof] Baca juga:
MENCARIBARANG HILANG DI MASJID. "Di desa kami ada mikrofon besar, bolehkah digunakan untuk mencari barang hilang, baik berupa barang berharga, hewan ternak, atau kehilangan anak kecil, maupun yang lainnya. Apakah ini termasuk dalam hadits mulia, yang maknanya "Barangsiapa yang mencari barang hilang di masjid maka katakanlah : 'semoga
Bersegeramenuju masjid merupakan salah satu ciri dari semangat seorang muslim untuk melakukan ibadah. Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah kita bersegera menuju masjid karena di dalamnya terdapat ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis: Dilarang berlebih-lebihan dalam menghias masjid karena hal itu menyelisihi sunnah Nabi
kerenahmanusia dan dedikasi. Semua ciri-ciri yang dinyatakan itu adalah merupakan pra-syarat bagi mencapai kemajuan pengurusan dan pentadbiran institusi masjid. Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahawa dalam melaksanakan sistem pengurusan masjid, perlu diambil kira nilai-nilai dalaman yang berlaku supaya dapat disesuaikan
Jikamerujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. "Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, "Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka
AhlusSunnah Wal Jama'ah ( أهل السنة والجماعة) sering disebut kelompok Suni di kalangan umat Islam vis a vis Syi'ah. Polarisasi ini keliru karena Syi'ah bukan Islam. Ahli artinya orang yang mahir, menguasai, paham sekali dalam suatu ilmu. Sunah secara bahasa berasal dari kata "sanna" yang artinya "jalan". Dalam KBBI sunah
Ciriorang munafik biasanya yaitu suka berubah-ubah karakternya. Terutama saat interaksi dengan sesama manusia, baik itu tidak sesuai antara percakapan serta perbuatan mereka. Rasulullah pun selalu mengingatkan umatya agar terhindar dari sifat-sifat orang munafik. Kaena itulah, kali ini kita akan membahas 12 ciri orang munafik:
Ciri-ciri Salafy Sejati " - Pemateri : Ustadz Muhammad bin 'Umar As Sewed hafizhahullah - Hari & Tanggal : Sabtu, 30 Rabi'ul Awwal 1435 / 1 Februari 2014 - Jam : 09.00 WIB - selesai - Tempat : Masjid Agung Manunggal Bantul - Peserta : Umum putra & putri - CP : 0818 0410 0033/0818 0404 6981. Insya Allah disiarkan live
1 Orang yang i'tikaf penuh pada 10 hari terakhir Ramadhan, insya Allah akan mendapatkan Lailatul Qadar.. 2. Orang yang sholat Isya, tarawih dan Subuh berjamaah di masjid pada 10 hari terakhir, insya Allah ia juga mendapatkan Lailatul Qadar.. Baca Juga: Cara Mengetahui TV Digital Atau TV Analog sebelum Membeli Set Top Box (STB) Sedangkan ciri-ciri orang yang mendapat Lailatul Qadar dilihat
Jelaslahbahwa istilah "Masjid Sunnah" adalah proyek Wahabi yakni misi mewahabikan masyarakat melalui masjid. Selicik apapun, hujjah Wahabi sangat mudah untuk dipatahkan karena faktanya masjid yang tanpa embel-embel sunnah lebih nyunnah daripada merk sunnah sebab embel-embel sunnah hanyalah propaganda kaum Wahabi.
x7L1. Buletin Islam Berbicara tentang tradisi-tradisi masyarakat NU sungguh beragam dan tentu sudah tidak asing lain lagi, ada yang berupa Tahlilan, Peringatan Maulid / Kelahiran Nabi Muhammad, Bahkan warga NU memiliki cirikhas masjid tersendiri. Seperti apakah itu?Dikutpi dari KH. Ma’ruf Khozin, Pengurus Aswaja Center Surabaya, dan juga anggota MUI Pusat, menjelaskan memalui laman facebooknya. Berikut ini Surabaya kawasan Rungkut ada jamaah Majelis Shalawat bernama Paseban Agung yang dibina oleh Kiai Mukarram. Jamaahnya ribuan. Namun selama masa pandemi ini tidak beraktivitas, hanya saja Ngaji Ahad pagi baru dimulai hari ini dengan tetap menerapkan protokol Juga 5 Masjid Tertua Dengan Corak Budaya KhasSaya diminta menyampaikan materi tentang dalil-dalil Amaliah seputar Masjid yang menjadi ciri khas Masjid NU tetapi dibidahkan oleh saudara Muslim yang lain. Berikut adalah dalilnya;Tanda dan Cirikhas Masjid Warga NU1 Ada شُعَيْبِ بْنِ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىِّ قَالَ شَهِدْنَا فِيْهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْقَوْسٍDiriwayatkan dari Syuaib bin Zuraiq, ia berkata “Kami menyaksikan di Madinah di hari Jumat bersama Rasulullah, kemudian beliau berdiri dengan berpegang pada tongkat atau anak panah” HR Abu Dawud No 10982 Pakai mimbar, bukan menjadi salah satu cirikhas, Sebab yang sesuai Sunnah Nabi adalah Mimbar dengan 3 anak أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيْشًا . وَكَانَ يَخْطُبُ إِلَى ذَلِكَ الْجِذْعِ فَقَالَ رَجُل مِنْ أَصْحَابِهِ هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ شَيْئًا تَقُوْمُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حَتَّى يَرَاكَ النَّاسُ وَتُسْمِعَهُمْ خُطْبَتَكَ ؟ قَالَ نَعَمْ فَصُنِعَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ . فَهِيَ الَّتِي أَعْلَى الْمِنْبَرِ“Rasulullah salat dan khutbah di dekat pelepah kurma. Ada sahabat usul “Bagaimana jika kami buatkan untuk Anda sebuah tempat yang dapat dilihat oleh orang dan suara khutbah Anda bisa didengar orang?” Nabi menjawab “Ya”. Maka dibuatlah mimbar dengan 3 tangga HR Ibnu Majah No 1414.3 Dua kali Azan sebelum Jum’atعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ – رضى الله عنهما – فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ – رضى الله عنه – وَكَثُرَ النَّاسُزَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِAdzan tambahan dalam Jumat memang baru diberlakukan dimasa Sayidina Utsman bin Affan dengan pertimbangan semakin banyaknya umat Islam HR al-Bukhari No 412-916, kemudian hal ini menjadi ketetapan. Dari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata “Terlihat jelas bahwa orang-orang melakukan intruksi Utsman di semua Negara, karena beliau adalah pemimpin yang ditaati” Fath al-Bari 3/3184 Bilal Jum’at فَرْع اتِّخَاذُ الْمَرْقَى الْمَعْرُوفِ بِدْعَة حَسَنَة لِمَا فِيهَا مِنْ الْحَثِّ عَلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِرَاءَةِ الْآيَةِ الْمُكَرَّمَةِ وَطَلَبِ الْإِنْصَاتِ بِقِرَاءَةِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الَّذِي كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهُ فِي خُطَبِهِ وَلَمْ يَرِدْ أَنَّهُ وَلَا الْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ اتَّخَذُوا مَرْقِيًّا . وَذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ أَنَّهُ لَهُ أَصْلًا فِي السُّنَّةِ وَهُوَ { قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ خَطَبَ فِي عَرَفَةَ لِشَخْصٍ مِنْ الصَّحَابَةِ اسْتَنْصِتْ النَّاسَ }“Pengangkatan muraqqi Bilal yang sudah dikenal adalah bid’ah hasanah, sebab ada dorongan untuk bersalawat kepada Nabi dan menyuruh diam dengan membaca hadis yang sahih yang dibaca oleh Nabi dalam khutbah-khutbahnya. Namun Nabi dan para sahabat tidak ada yang mengangkat muraqqi. Ibnu Hajar mengambil dasar hukum tentang Bilal ini yaitu ketika Rasulullah Saw khutbah di Arafah beliau menyuruh sahabat agar menyuruh orang-orang diam” Hasyiyah Qulyubi 4/79. Mengutip dari Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar al-Haitami, 9/3105 Bedug sebagai penanda waktu Salatفِي حُكْمِ ضَرْبِ الطَّبْلِ الْكَبِيْرِ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ مُسْلِمُوْ اَرْضِ جَاوَاهْ فِي مَسَاجِدِهِمْ لِلاِعْلَامِ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ وَالدَّعْوَةِ اِلَى الْجَمَاعَةِ وَهِيَ خَشَبَةٌ كَبِيْرَةٌ طَوِيْلَةٌ جِدًّا يُنْحَتُ جَوْفُهَا نَحْتًا وَاسِعًا وَيُجْعَلُ عَلَى وَجْهَيْهَا جِلْدُ نَحْوِ جَامُوْسٍ وَيُسَمَّرُ عَلَيْهَا بِمَسَامِرَ كَبِيْرَةٍ مِنْ خَشَبٍ تُضْرَبُ بِخَشَبَةٍ صَغِيْرَةٍ فَيَخْرُجُ مِنْهَا صَوْتٌ دَوِيٌّ …. قُلْتُ ضَرْبُ الطَّبْلِ الْمَذْكُوْرِ لِلْغَرَضِ الْمَذْكُوْرِ مُبَاحٌ نَطَقَتْ بِذَلِكَ النُّقُوْلُ الْمَذْكُوْرَةُ بَلْ هُوَ دَاخِلٌ فِي اْلبِدْعَةِ الْمَحْمُوْدَةِHukum tentang Bedug yang digunakan oleh umat Islam Jawa di masjid-masjid mereka, untuk memberi tahu masuknya waktu salat dan mengajak berjamaah. Bedug adalah kayu berukuran besar yang sangat panjang, yang didalamnya diberi lubang yang luas yang kedua tepinya ditutupi semisal kulit kerbau, dipaku dengan beberapa paku bersa yang terbuat dari kayu, kemudian ditabuh dengan kayu kecil, sehingga mengeluarkan suara gemuruh… Saya katakana Menabuh bedug dengan tujuan di atas adalah boleh, bahkan masuk dalam bid’ah yang terpuji Risalah al-Jasus fi Bayani Hukmi an-Naqus 13-14, krya Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri NUBaca Juga 5 Masjid Termegah di Malang, Penasaran?Bedug dan Mimbar bukan patokan secara paten menandakan Masjid NU, sebab harganya mahal. Secara pribadi saya lebih condong pada sisi Amaliah sebagai ciri khas Masjid NU dari pada bersifat material, seperti zikir suara keras dan Ciri dan Tanda Masjid NU, yang ditulis oleh pakar Aswaja, semoga bisa menambah terkaitPendekatan Coaching untuk Supervisi AkademikMemahami Pembelajaran Berdiferensiasi Untuk Memenuhi Kebutuhan Murid Secara IndividuCovid-19 Ditinjau Dari Teologi IslamSekilas Tentang Pengguna Internet, Antara Positif Dan NegatifInilah Dia Salah Satu Anjuran Sebelum BerdoaInilah Dia Anjuran Nabi Isa As Untuk Dilakukan Sebelum Berdoa
– Seruan akan ciri-ciri masjid sunnah menyebar. Pertanyaannya kalau tidak masuk kategori itu terus gimana? Jadi masjid makruh?Gara-gara melihat sebuah campaign kalau bisa disebut demikian tentang “Ciri-Ciri Masjid Sunnah” yang cukup banyak menyebar di media sosial, saya jadi teringat kisah seorang Arab Badui yang kedapatan kencing di masjid sekali lagi, kencing di Masjid saja para sahabat sempat dibikin berang. Sayyidina Umar bahkan sudah hampir menghunus pedangnya. Untung, Nabi Muhammad mencegahnya. Orang badui itu dibiarkan Nabi sampai benar-benar purna membuang sahabat pun terpaksa bergeming di tempatnya masing-masing. Wajar kalau mereka menggerutu. Ini masjid. Kehormatan mereka sebagai orang Islam tentu terjun ke jurang Palung Mariana yang ya gimana, Nabi sendiri yang bilang bahwa, “Biarkanlah ia, dan siramkanlah di atas air kencingnya satu timba air atau seember air, karena sungguh kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus memberikan kesulitan.” BukhariSikap Nabi SAW yang membiarkan orang kencing di masjid itu jelas bukan tanpa alasan. Buktinya, orang yang bersangkutan tetap diajak bicara oleh Nabi, lalu diberi pengertian, dan tersadar bahwa ia memang telah salah tempat hari ini, jangankan “mengencingi” masjid, tasbih atau bersalaman di masjid pun sekarang bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang lebih buruk dari itu. Setidaknya itu kesan yang saya dapat ketika menyaksikan kampanye ciri-ciri masjid sunnah seperti di bawah itu, saya rasa ciri-ciri masjid sunnah telah mengalami degradasi identitas dan bahkan secara ironi direduksi menjadi masjid yang “tidak-tidak”. Tidak boleh ini. Tidak boleh horornya rumah ibadah yang sedikit-sedikit kok nggak boleh. Wong abis salat ngecek hengpon saja boleh kok. Mau ngeceknya sambil salto juga boleh. Masak malah salaman, zikir pakai tasbih, puji-pujian, wa akhwatuha jadi nggak boleh dilakukan usai salat?Melihat kampanye yang “tidak-tidak” begitu, saya rasa ini menandakan masjid sudah ter-institusi-kan menjadi suatu tempat yang eksklusif. Hanya boleh untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Wabilkhusus kelompok tidak masalah sih kalau itu masjid sunnah seperti itu hanya untuk mengakomodasi suatu daerah tertentu yang kebetulan jamaahnya begitu semua. Baru jadi masalah itu justru karena pemakaian diksi “sunnah”-nya. Klaim penggunaan diksi inilah yang sejatinya cukup istilah “masjid sunnah” itu agak wagu sih. Ibaratnya kayak menang-menangan main klaim. Lah iya dong. Hakok kesunahan Nabi jadi klaim kelompok ini, sehingga mereka layak menjadi penentu?Dalam kasus masjid sunnah ini, penggunaan klaim ini seolah-olah menunjukkan bahwa masjid yang lain jadi tidak tidak pakai istilah “masjid salaf” saja? Yang sesuai dengan identitas penggagasnya? Kenapa harus sembunyi-sembunyi berlindung di balik suatu klaim sunnah begitu? Lagian kalau memang isi kampanyenya tidak ada yang salah, kenapa malu dengan identitas diri?Terlepas dari main klaim masjid sunnah yang tidak-boleh-ini-tidak-boleh-anu, masjid secara filosofis maknanya sebenarnya bisa lebih luas.“Ju’ilat lana al-ardh kulluha masjidan,” kata Nabi. Bumi itu masjid. Masjid itu tempat sujud. Jadi, segala tempat yang bisa dipakai untuk bersujud, itulah ini agak berbeda dengan umat terdahulu, jauh sebelum era Nabi Muhammad. Di masa Nabi Musa syariat beribadah itu meniscayakan sebuah bangunan. Ya, literally bangunan. Ada bentuknya, ada wujudnya, dan mungkin ada cakar ayamnya—meski waktu itu belum ada kalau dibandingkan tempat ibadah umat Nabi Musa, syarat infrastruktur peribadatan umat Nabi Muhammad jauh lebih longgar. Ya iya dong, ini menjadikan segala penjuru bumi ini sebagai masjid jeh. Bisa dipakai buat salat di mana saja asal secara fikih suci tempat, suci pakaian.Hanya saja, sesuatu yang substantif-esensialis itu tetaplah butuh wadah agar membumi dan bisa dikenali sebagai identitas suatu kelompok keagamaan. Makanya, masjid kemudian dibutuhkan bangunannya. Didirikan oleh umat fungsi masjid itu sebenarnya lebih kental urusan sosialnya ketimbang urusan habluminallah-nya. Agar salat jamaah bisa bareng-bareng di sana. Berinteraksi sesama muslim di sana. Dan merajut tenun perbedaan di kenapa, ketika suatu masjid sebagai bangunan fisik telah berdiri, maka bangunan ini auto menjadi bagian dari artefak kebudayaan yang bersentuhan dengan masyarakat di sekitarnya secara langsung. Tanpa persentuhan itu, ya masjid yang barusan dibangun itu bakal jadi bangunan yang “mati”.Dan ketika sebuah masjid tak punya pertalian batin dengan masyarakat di sekitarnya, ya ia tak lebih dari seperti “berhala”. Bukan ibadahnya yang dipentingkan, tapi justru tempat ibadahnya yang “disembah”. Masjid sebagai tempat sesembahan saja, bukan tempat untuk menghidupkan manusia atau menghidupkan pertalian dengan masyarakat ini begitu kental, itu yang jadi sebab kenapa masjid-masjid di tempat saya tinggal di Sleman jelas akan berbeda dengan bangunan masjid di Madinah. Baik secara arsitekturnya, maupun kebiasan masyarakat dalam berinteraksi dengan sekalipun di Sleman ada masjid yang agak mirip dengan Masjid Nabawi. Salah satunya adalah Masjid Suciati, di bilangan Gito-Gati, Sleman. Meski secara fisik hampir sama, kultur keduanya tetaplah berbeda. Minimal letak perbedaan itu ada di wilayah keamanan. Masjid Nabi dijaga askar, Masjid Suciati mempekerjakan aspek sosial masjid jauh lebih fundamental ketimbang aspek ibadah individualnya, makanya kebudayaan masjid harusnya bisa inklusif dan toleran dengan seperti pada masa Nabi, masjid merupakan pusat peradaban umat muslim. Di dalamnya ada agenda sosial, ekonomi, intelektual, dan tentu saja ibadah. Itulah kenapa pendirian sebuah masjid harus seirama dengan karakter masyarakat masjid tidak boleh mengikuti ego atau keangkuhan, apalagi berdasarkan kesewenang-wenangan, dalih menang-menangan, atau main klaim-klaiman. Ini yang masjid sunnah, ini yang bukan. Bukan di Indonesia barangkali tidak semeriah hari ini jika para misionaris muslim awal berpikiran bahwa bentuk masjid harus mutlak mengikuti gaya arsitektur Timur Tengah, tempat muasal agama Islam. Berikut juga dengan segala hari ini kita bisa melihat betapa Masjid Menara Kudus tetap mengumandangkan azan, kendati bentuk fisiknya menyerupai bangunan yang identik dengan umat Hindu. Pun, Masjid Agung Kauman di Yogyakarta yang tetap lestari dengan tradisi di sini, di Korea sana, bahkan ada masjid yang berdiri di atas klub malam. Anggaplah bangunannya memang berlantai-lantai. Ketika umat Muslim mau berangkat sembahyang, sangat mungkin yang mereka lihat pertama kali bukan tempat wudu atau padasan, tetapi mau menang-menangan apakah itu masuk kategori masjid sunnah atau tidak? Hayaaa sepertinya begitu, kalau Anda panjenengan semua ingin beneran mencari ciri-ciri masjid sunnah yang pahalanya bisa berlipat-lipat jika sembahyang di sana, ya cuma ada di tiga tempat Masjid al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di soal itu, dalilnya jelas dan absolute.“Terus gimana kalo nggak ada duit buat ke sana?”Waitu… sama. jelas, kalo panjenengan mau cari referensi masjid yang asyik dan lumrah bagi Islam di Indonesia, pastikan bahwa rumah ibadah itu bukan masjid yang “tidak-tidak”. Kata “tidak” itu berarti menegasi atau mengeksklusi. Btw, itu masjid apa form vaksinasi? Kok banyak tidaknya?BACA JUGA Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid atau tulisan ESAI Anwar KurniawanEditor Ahmad KhadafiTerakhir diperbarui pada 17 Januari 2022 oleh Ahmad Khadafi
Conheça a importância do sinal da cruz para o cristão O sacrifício de Jesus Cristo é o sinal maior do amor de Deus por nós. Para que pudéssemos nos ver livres do pecado, Aquele que viveu livre dele foi condenado e crucificado, e, em Seu sacrifício, traçou sobre o mundo o sinal da cruz. Nas Palavras do Papa Francisco, “a cruz de Jesus é a nossa única esperança verdadeira! Eis por que a Igreja exalta’ a santa cruz, e eis por que nós cristãos abençoamos com o sinal da cruz”. Podemos ler, nos Evangelhos de Lucas e Mateus, o convite dirigido a nós por Jesus “Negue-se a si mesmo, tome a sua cruz” Mt 16,24 e Lc 9,23. Traçar sobre nosso corpo esse sinal é professar nossa fé sem palavras. Foto Daniel Mafra/ Em que momentos podemos ou devemos fazer o sinal da cruz? Na celebração da Santa Missa, em observância ao rito litúrgico, há momentos em que o sinal da cruz se apresenta como obrigatório, como se faz no início e ao fim da celebração. Também é traçado o sinal da cruz em reverência à leitura do Evangelho, com o polegar da mão direita, sobre si mesmo, na testa, na boca e no peito. Nesses momentos, ao traçar sobre o corpo o sinal da cruz, que se faça com a devida devoção, eis que é na sagrada liturgia que se opera a santificação dos homens e na qual, por meio de sinais sensíveis, prestamos o culto público de Deus. E a todo momento, em nosso cotidiano, ao professar a fé pelo sinal da cruz, lembremo-nos das palavras de São Paulo “De fato, Cristo não me enviou para batizar, mas para anunciar o Evangelho, sem recorrer à sabedoria da linguagem, a fim de que não se torne inútil a cruz de Cristo, pois a linguagem da cruz é louca para aqueles que se perdem. Mas para aqueles que se salvam, para nós, é poder de Deus” 1Cor 1,17-18. Professar a fé sem palavras é expressão sutil e humilde de devoção e não deve ser empregue sem a adequada veneração, sob o risco de fazê-lo de modo supersticioso. Com efeito, não há obrigatoriedade em traçar o sinal da cruz ao passar por uma igreja, o que não diminui seu significado. É que, no Cerimonial dos Bispos, no número 110, verifica-se a citação de uma antiga prática cristã no uso da água benta, que diz “Seguindo louvável costume, todos, ao entrar na igreja, molham a mão na água benta, contida na respectiva pia, e fazem com ela o sinal da cruz, como recordação do seu próprio batismo”. Daí, verifica-se o costume de muitas pessoas em traçar o sinal da cruz ao entrar na igreja, que, em sinal de respeito e devoção, foi se estendendo para o exterior do templo, até que tomou a forma que vemos muitos cristãos praticarem atualmente, de traçar sobre si o sinal da cruz ao passar na frente de uma igreja. Leia mais . Qual é o verdadeiro significado do sinal da cruz? . A cruz representa Cristo e o amor que Ele tem por nós . Oração a Santa Cruz . As virtudes ocultas da santa cruz Faça o sinal da cruz Certos de que a força de Deus nos acompanha em nossas provações diárias, façamos do sinal da cruz um gesto de fortalecimento e profissão de fé, atentos para que sempre que o traçarmos, seja com o coração repleto de devoção. Como nos ensina o Santo Papa João Paulo II “Quem quer que seja que acolha Deus em Cristo, acolhe-O mediante a cruz. E quem acolheu Deus em Cristo, exprime isso mesmo mediante esse sinal quem O aceitou, efetivamente, benze-se com o sinal da cruz sobre a fronte, sobre os ombros e sobre o peito, para manifestar e para professar que, na cruz, encontra-se de novo totalmente a si mesmo, alma e corpo, e que com este sinal abraça e aperta ao peito Cristo e o seu reino”. REFERÊNCIAS A BÍBLIA SAGRADA. Edição Pastoral. 86 ed. São Paulo Paulus. 2012. PAPA FRANCISCO. Angelus. 14 set. 2014. Disponível em PAPA JOÃO PAULO II. Palavras no final da via-sacra. 4 abr. 1980. Disponível em SAGRADA CONGREGAÇÃO PARA O CULTO DIVINO. Cerimonial dos Bispos. Cerimonial da Igreja.
ciri ciri masjid sunnah